namatoko.it.com – Di tengah maraknya hotel modern dan penginapan berbintang, tren menginap di homestay desa wisata mulai menarik minat para pelancong yang mencari pengalaman autentik dan berkelanjutan. Homestay bukan hanya soal tempat tidur, melainkan sarana untuk berinteraksi langsung dengan budaya lokal, mempelajari tradisi, dan menyatu dalam ritme hidup masyarakat setempat.
Saya pernah menginap di sebuah homestay di Desa Nglanggeran, Yogyakarta, yang terkenal sebagai desa wisata berbasis geowisata. Di sana, saya tidak hanya menikmati pemandangan Gunung Api Purba, tapi juga ikut serta dalam proses pembuatan cokelat lokal, memetik sayur dari kebun warga, hingga menikmati hidangan khas yang dimasak tuan rumah sendiri. Pengalaman ini memberikan kedalaman emosional dan pemahaman baru tentang kearifan lokal.
Secara akademis dan praktis, homestay juga mendukung ekonomi inklusif. Menurut data Kemenparekraf, pengembangan desa wisata melalui homestay mampu meningkatkan pendapatan masyarakat hingga 40% dalam 2 tahun. Selain itu, model ini menekankan keberlanjutan karena memanfaatkan rumah-rumah yang sudah ada tanpa perlu pembangunan besar-besaran yang bisa merusak lingkungan.
Dari sisi wisatawan, homestay menawarkan harga yang lebih terjangkau serta interaksi yang lebih hangat dibanding hotel konvensional. Namun, tentu saja penting memastikan kebersihan, keamanan, dan etika saling menghargai selama tinggal.
Homestay desa wisata bukan sekadar tempat singgah, tapi gerbang menuju pemahaman yang lebih dalam tentang nilai-nilai budaya, keramahan, dan keberagaman Indonesia. Ini adalah bentuk perjalanan yang tidak hanya menghibur, tapi juga mencerahkan.